Keindahan Perbedaan
Kiai Hasyim Asy’ari menulis sebuah artikel
dalam majalah Suara Nahdlatul Ulama pada tahun 1926, beberapa bulan
setelah NU didirikan. Dalam artikel ini beliau mengajukan argumentasi,
KARENA KENTONGAN TIDAK DISEBUTKAN DALAM HADIS NABI, MAKA TENTUNYA
DIHARAMKAN DAN TIDAK DAPAT DIGUNAKAN UNTUK MENANDAKAN WAKTU SHALAT.
Sebulan setelah dipublikasikannnya artikel Kiai Hasyim itu, seorang kiai
senior lainnya, Kiai Faqih, menulis sebuah artikel untuk menentangnya.
Beliau beralasan bahwa Kiai Hasyim salah karena prinsip yang digunakan
dalam masalah ini adalah masalah qiyas, atau kesimpulan yang didasarkan
atas prinsip yang sudah ada. Atas dasar ini, maka KENTONGAN ASIA
TENGGARA MEMENUHI SYARAT UNTUK DIGUNAKAN SEBAGAI BEDUK UNTUK MENYATAKAN
WAKTU SHALAT.
Sebagai tanggapannya, Kiai Hasyim
mengundang ulama Jombang untuk bertemu dengan beliau di rumahnya dan
kemudian meminta agar kedua artikel itu dibaca keras. Ketika hal itu
dilakukan, beliau mengumumkan kepada mereka yang hadir, “ANDA BEBAS
MENGIKUTI PENDAPAT YANG MANA SAJA, KARENA KEDUA-DUANYA BENAR, TETAPI
SAYA MENDESAKKAN BAHWA DI PESANTREN SAYA KENTUNGAN TIDAK DIPERGUNAKAN.“
Beberapa bulan kemudian Kiai Hasyim diundang untuk menghadiri perayaan
Maulid Nabi di Gresik. Tiga hari sebelum tiba, Kiai Faqih, yang
merupakan kiai senior di Gresik, membagikan surat kepada semua masjid
dan mushala untuk MEMINTA MEREKA MENURUNKAN KENTUNGAN UNTUK MENGHORMATI
KIAI HASYIM DAN TIDAK MENGGUNAKANNYA SELAMA KUNJUNGAN KIAI HASYIM DI
GRESIK.
* * * * *
Kondisi yang sama namun pola pikir yang berbeda menimbulkan sikap yang
berbeda pula. Sungguh ajaib pola pikir itu, apa yang kau pikirkan haknya
ada padamu.
Ulama dulu telah memberikan tauladan bagaimana POLA PIKIR SAAT MENYIKAPI PERBEDAAAN. Perbedaan bukan media pertengkaran dan permusuhan, tetapi sebagai perekat ukhuwah dan memupuk sikap toleransi dan menghargai pendapat orang lain.
Sungguh indah jika para pemimpin dan elit politik di negara kita tercinta ini bisa meneladani pesan moral dari kisah di atas.
*Kisah di atas dikutip dari Biografi Gus Dur karya Greg Barton.
0 komentar:
Posting Komentar
kau berkomentar maka kau berfikir