Pesantren dan Islam

Pesantren adalah lembaga pendididkan yang lahir dan berkembang seiring derap langkah dalam masyarakat global dewasa ini. Dari keunikan konsep yang dijalankan pesantren, baik dari gaya belajarnya, gaya bermasyarakatnya, ataupun gaya berinteraksi antara santri dan kiai. Pesantren akhirnya memiliki pola yang spesifik. Itulah sebabnya KH. Abdurrahman Wahid memposisikan pesantren sebagai subkultur dalam pelataran masyarakat dan bangsa Indonesia.

Dalam perkembangan selanjutnya institusi pesantren telah berkembang sedemikian rupa sebagai akibat dari persentuhan dengan polesan-polesan zaman sehingga kemudian melahirkan persoalan-persoalan krusial dan dilematis. Di tengah banyaknya ekspresi-ekspresi (tampilan) model keberagamaan yang tampil di tengah masyarakat, adalah wajar jika, santri keluaran pesantren dituntut untuk bisa beradaptasi dengan masyarakat dalam upaya penyebaran ilmu agama Islam yang sudah mereka dapatkan saat di pesantren tersebut. Karena Islam dan budaya adalah dua sisi yang tak dapat dipisahkan.

Dalam pemaparan di atas maka dapat dipahami bahwa, pesantren sebenarnya bukan dari Islam. Akan tetapi lebih tepat kita katakan sebagai bagian dari budaya Indonesia. Dan pesantren hanya ada di Indonesia. Kalau kita melihat sejarah, sebenarnya pesantren adalah salah satu dari strategi Wali Songo dalam mendakwahkan Islam. Dalam penyebarannya, Wali Songo telah mampu mengemas dakwahnya dalam bentuk pesantren, yang sehingga dari apa yang ditampilkan Wali Songo  Islam dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Karena Islam ditampilkan dalam bentuk yang tidak asing di masyarakat.

Sementara Islam adalah agama yang fitrah dan rahmatan lil alamin. Fitrah adalah dorongan yang sudah tertanam di dalam diri manusia untuk menemukan Tuhan. Dorongan hati (fitrah) itulah yang menyebabkan manusia menyerahkn diri (Islam) kepada Allah. Islam melihat manusia sebagai makhluk yang secara fitri telah mengandung unsur-unsur baik, dan tugas dari agama Islam sendiri adalah untuk menjaga, memunculkan, dan mengembangkan kebaikan itu.

Nabi Muhammad SAW. sendiri diutus karena untuk menyempurnakan akhlak. Kata-kata menyempurnakan akhlak di sini mengindikasikan bahwa sebelum diutusnya Rasulullah SAW. akhlak atau kebaikan itu sebenarnya sudah ada, namun belum sempurna. Dan Rasulullahlah yang menyempurnakan akhlak/kebaikan itu agar sesuai dengan konsep Islam. Tentunya banyak perspektif dalam menanggapi kebaikan itu sendiri. Karena, kebaikan dalam suatu daerah belum tentu baik di daerah lainnya.

Menurut Al Ghazali, dalam upaya mencapai kebahagiaan, manusia selalu terancam oleh “kecintaan terhadap nafsu” yang dapat menghalanginya mengikuti fitrah. Dalam rumusan Al Ghazali tersebut maka, dapat dipahami bahwa, sepanjang nilai atau sistem dalam masyarakat tidak bertentangan dengan keyakinan Islam, maka ia mempunyai potensi untuk diarahkan atau dikembangkan agar selaras dengan tujuan-tujuan dalam Islam.

Maka dari itu, di saat banyaknya corak kehidupan yanga ada dalam masyarakat kita, yang sudah dipengaruhi oleh zaman globalisasi, kita sebagai santri sudah semestinya harus memahami persoalan-persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat dewasa ini.

KH. Abdul Aziz Mansur mengistilahkannya “santri harus jadi paku”. Artinya santri harus peka terhadap lingkungan masyarakat yang ada. Karena, jika santri sampai tidak memahami keadaan masyarakat sekitarnya, maka ia akan kesulitan dalam menyebarkan ilmunya. Bisa-bisa karena ketidakpahamannya terhadap lingkungan, yang ditimbulkan bukanlah kemashlahatan melainkan madhorot di tengah masyarakat. Yang jelas-jelas tidak sesuai dengan konsep Islam rahmatan lil alamin.

Islam adalah agama yang fleksibel. Artinya Islam bisa diterapkan di daerah mana pun. Dan hukum bisa berubah mengikuti waktu. Maka dari itu, di saat kita kesulitan menerapkan hukum, sangatlah wajar jika diperlukannya kontekstualisasi hukum atau fiqih baru. Karena bisa jadi hukum ulama dulu tidak bisa diterapkan pada waktu sekarang ini atau kurang sesuai jika diterapkan di lingkungan kita. dan karena hal ini bisa-bisa malah menimbulkan madhorot, sementara, menolak kerusakan lebih baik dari pada melakukan kebaikan (daf’ul mafasid afdholu an jalbil masholih). Wallahu a’lam … 
Oleh BZR, Chodim Harokah 

{source

0 komentar:

Posting Komentar

kau berkomentar maka kau berfikir