Sayap - Sayap Patah bagian 3 Kahlil Gibran


Bagian 2
Tangan Sang Nasib

Saat musim semi di tahun yang itu, aku berada di beirut. Taman taman penuh dengan bunga bunga bulan nisan dan bumi berhamapar rumput hijau, semua tempet seperty rahasia yang diperlihatkan bumi pada langit. Pohon pohon jeruk dan apel, terlihat laksana bidadari atau mempelai pengantin yang dititahkan oleh alam untuk mengilhami para penyair dan membangkitkan gairah khayalan, berselimutkan baju baju putih dan kembang kembangnya yang mekar semerbak.

Musim semi pastilah indah dimanapun, namun tak akan seindah di lebanon. Musim semi adalah sebuah roh yang mengelilingi bumi tetapi melayang layang di sekitar lebanon, bercakap dengan arwah para raja dan nabi nabi di cakrawala, bersenandung bersama sungai sungai yahudiyyah, mendendangkan nyanyian nyanyian sulaiman, mengingatkan kembali kenangan purba kala yang jaya dengn hutan cedar suci lebanon. Beirut yang terbebas dari lumpur musim dingin dan debu musim panas, adalah seperti anak gadis yang mandi di anak kali lalu duduk di tepiannya, menjemur kulit halusnya di bawah sinar matahari.

Suatu hari di bulan nisan, aku mengunjungi seoran teman yang rumahnya tidak begitu jauh dari kota yangpenuh pesona itu. Waktu kami sedang bercakap cakap, seorang lelaki berwibawa berumur sekitar enam puluh lima tahun memasuki rumah itu. Tatkala aku bangun untuk menyapanya, temanku malah memperkenalkannya padaku bahwa namanya faris affandi karami dan memberitahukan namaku disertai kata kata pujian. Orang tua itu melihat sesaat, menyentuh dahinya dengan jari jarinya seakan akan dia mencoba meraih ingatannya. Kemudian dia mendekatiku dengan tersenyum seraya berkata, “engkau adalah putera temanku yang sangat kuhormati dan aku gembira setalah melihat temanku itu ada dalam dirimu.”


Begitu terpengaruh oleh kata katanya, aku tertarik padanya seperti seekor burung yang nalurinya mengajak untuk menuju sarangnya sebelum prahara datang. Sewaktu kami duduk dia mengisahkan perihal persahabatannya dengan ayahku. Ia mengingat kembali masa masa yng mereka habiskan bersama. Orang orang tua asyik mengingat ingat hari mudanya seperti orang asing yang rindu untuk kembali ke negeri asalnya. Mereka begitu riang menuturkan kisah kisah masa lalunya seperty penyair yang dengan asyiknya membacakan puisi puisi terbaiknya. Mereka hidup secara spiritual di masa lalu sebab hari berlalu dengan cepat. Dan masa mendatang nampak baginya seperty sebuah jalan menuju kematian. Satu jam penuh kenangan kenangan itu berlalu seperti bayang bayang pohon di rerumputan. Ketika faris affandi melangkah, dia meletakkan tangan kirinya di pundakku dan menyalami tangan kanaku sembari berkata, “dua puluh tahun lamanya aku tidak bersua lagi dengan ayahmu. Aku harap engkau dapat menjadi pengganti orang tuamu untuk sesekali berkunjung ke tempatku. “ aku mengiyakannya dan berjanji untuk memenuhinya, karen keharusan seorang anak terhadap sahabat baik ayahnya.

Waktu orang tua itu meninggalkan rumah tersebut, aku meminta temanku untuk berkisah lebih banyak lagi mengenai dirinya, dia berucap, “yang aku tahu, tidak ada seorang pun di beirut ini yang dengan kekayaan dan kebaikannya mempunyai sifat terpuji dan membuatnya menjadi hartawan. Dia termasuk yang datang kedunia ini dan meninggalkannya tanpa merugikan orang lain. Tetapi orang seperty itu biasanya hidup sengsara dan tertindas. Sebab mereka tidak cukup pandai untuk menyelamatkan dirinya dari kecurangan dan perdaya orang lain. Faris affandi memiliki anak gadis yang memiliki sifat mirip dengan ayahnya. Kecantikannya serta keagungannya tak tergambarkan. Dan dia juga akan hidup menderita, karena kekayaan ayahnya akan membuat da berada di tebing curam yang mengerikan.”



Sambil mengucapkan kalimat terakhir ini, aku melihat wajahnya meredup lalu dia menambahkan, “faris affandi adalah orang tua yang baik dan berhati mulia. Tapi dia kehabisan hasrat dan kemauan. Orang orang memperlakukannya seperty buta. Anak perempuannya tunduk padanya kendati dia memiliki budi yang luhur dan kecerdasan. ”

Ini adalah rahasia yang tersembunyi dalam kehidupan ayah dan seorang puterinya. Rahasia ini dimanfaatkan oleh seorang uskup yang berwatak iblis yang menyembunyikan kejahatan-nya di balik bayang bayang injil. Dia membuat orang orang yakin bahwa dia adalah orang yang baik dan terhormat. Dia adalah pemuka agama di negeri religius ini. Orang orang taat, memuja dan memujinya. Dia memperlakukan mereka sperti sekawanan domba yang di giring ke rumah jagal. Uskup ini mempunyai kemenakan laki laki yang otaknya penuh dengan kecurangan dan kelicikan. Cepat atau lambat, akan segera tiba saatnya dimana dia akan menempatkan kemenakannya itu disisi kanannya. Sedang puteri faris affandi disebelah kirinya. Dan dengan tangan berlumur noda itu akan mengangkat rangkaian mahkota kembang perkawinan di atas kepala mereka, menyerahan jantung hari dalam dada sang malam.

“hanya itu yang bisa aku katakan kepadamu tentang faris affandin dan juga puterinya itu. Dan jangan tanyai aku lebih dari itu.” Sembari berkata demikian, dia menggeser pandangan ke arah jendela seakan akan berusaha memecahkan persoalan persoalan hidup manusia dengan mengamati dalam dalam keindahan alam semesta.

Ketika aku akan pulang, aku berkata kepada temanku bahwa aku akan mengunjungi faris affandi selama beberapa hari dengan memenuhi janjiku dan demi menghargai persahabatan yang terjalin antara beliau dan ayahku. Dia menatapku sejenak. Dan aku melihat perubahan raut mukanya dengan jelas, seakan akan penuturanku yang simpatik itu memberinya gagasan baru. Kemudian dia memandang haru ke mataku dengan pandangan aneh, pandangan cinta, belas kasihan, dan kekhawatiran bagai tatapan seorang nabi yang sedang meramalkan apa yang tidak bisa dijanjijkan ilmu pengetahuan. Lalu bibirnya sedikit bergetar, tetapi tidak ada sepatah katapun terucap dari bibirnya, hingga aku melangkah meninggalkan tempatnya dan keluar melalui pintu. Yang kurasakan selanjutnya adalah tatapan asing yang terus mengikutiku dan tidak kupahami maksudnya, hingga kebebasan diriku tentang dunia pengalaman terbang ke kahyangan. Dimana hati saling mengerti satu sama lain berdasarkan intuisi dimana jiwa jiwa telah menjadi matang oleh pemahaman. 

by : indra baydhowi
sumber : Tetralogi Masterpiece Kahlil Gihbran