Sayap - Sayap Patah bagian 2 oleh Kahlil Gibran



Bagian 1
Duka yang bisu
PARA sahabatku, tentu kalian masih ingat masa muda dengan keriangannya dan menyesalkan berlalunya. Tetapi aku mengingat semua itu tak beda dengan seorang tawanan yang menggambarkan kembali jeruji dan belenggu belenggu kesengsaraan didalamnya. Kalian menyebut tahun – tahun antara masa kecil dan masa muda sebagai masa keemasan yang terbebas dari aturan dan kungkungan. Namun bagiku tahun tahun tersebut sebagai masa kedukaan yang bisu. Ia tumbuh laksana benih didalam hatiku dan berkembang pula bersamanya . tak dapat menembus dunia pengetahuan dan kebijaksanaan hingga cinta datang dan membuka pintu pintu hati serta menyinari pojok pojoknya. Cinta menganugrahiku bahasa dan air mata. Kalian tentu ingat taman taman dan bunga anggreknya, tempat tempat pertemuan di sisi jalan yang menyaksikan segenap sandiwaramu dan mendengarkan bisik bisik kalian. Aku mengingat tempat yang indah itu di lebanon utara. Setiap kali aku terpejam, aku menyaksikan lembah lembah penuh keajaiban dan keindahan serta gunung yang dikelilingi oleh keagungan dan kemuliannya yang mencoba merambah langit. Setiap kali aku menutupi pendengaranku terhadap kebisingan kota, aku mendengar bisikan gemericik sulur pepohonan. Seluruh keindahan yang aku sampaikan sekarang ini dan aku rindkan itu tak ubahnya laksana seorang bayi merindukan tetek ibunya, melukai jiwaku yang terpenjara dalam kekelabuan masa muda. Semisal seekor elang menderita sendirian dalam sangkarnya tatkala melihat sekawanan burung terbang bebas di laut yang luas. Seluruh lembah dan berbukitan membakar angan anganku, namun perasaan gelisah membenamkan hatiku ke jaring keputusasaan.

Setiap kali aku pergi perladangan, aku kembali dengan kekecewaan tanpa sedikit pun memahami penyebab kekecewaan itu. Setiap kali menegadah ke langit yang kelabu, aku merasakan hatiku mengkerut. Setiap kali aku mendengar nyanyian burung burung dan perbincangan musim semi, aku menderita tanpa mengerti alasan penderitaanku. Konon, kebersahajaan membuat seseorang berada dalam kekosongan. Dan kekosongan membuatnya riang dan tiada berfikir sedikitpun.Yang demikian barangkali benar bagi mereka yang terakhir sebagi makyat dan hidup sebagai seonggok jasad kaku hidup sebagai jasad kaku di atas permukaan tanah. Tapi bagi seorang anak yang peka serta tahu sedikit saja tentang sesuatu, dialah makhluk paling sial dibawah matahari, sebab dia dicabik cabik oleh dua kekuatan. Kekuatan pertama mengangkatnya dan mempertontonkan indahnya semesta dari kabut mimpi mimpi. Yang kedua memaksanya turun ke bumi dan memenuhi penglihatannya dengan debu dan menyekapnya dengan segala kekhawatiran dan kelamunan.

Kesunyian memiliki tangan tangan yang lembut, namun dengan jari jarinya yang kuat, ia merenggut hati dan membuatnya nestapa dengan duka duka cita. Kesunyian adalah lorong menuju penderitaan sekaligus teman kegungan spiritual, jiwa seorang anak yang tak henti dilanda derita adalah seumpama teratai putih yang terapung. Menggigil diterpa semilir angin dan membuka hatinya untuk sang fajar. Lalu melipat daunnya kembali tatkala bayang bayang malam mulai datang. Mana kala anak tersebut tidak punya hiburan atau kawan dalam permainan, hidupnya akan menjadi penjara yang sempit, dimana dia tidak melihat apapun kecuali sarang laba laba. Tidak mendengra sesuatupun kecuali suara serangga. Penderitaan yang menghantuiku selama masa muda bukanlah disebabkan oleh kurangnya hiburan dan permainan. Karena pada kenyataan aku punya itu semua. Bukan pula teman yang terbilang. kedukaan itu lebih dikarenakan oleh penyakit batin yang membuatku lebih mencintai kesederhanaan. Ia jga mematikan kecendrunganku pada permainan dan hiburan. Ia pulalah yang mematahkan kemudaanku dari bahuku dan membuatku seperti air diantara gunung gunung yang tenang dan memantulkan bayangan hantu hantu dan warna warni awan serta pepohonan. Tetapi tidak menemukan sebuah jalan keluar dimana sungai mengalir sambil berdendang ke arah laut. Begitulah kehidupanku sebelum mencapai usia delapan belas tahun.tahun tahun tersebut tak jauh berbeda dari puncak puncak gunung dalam hidupku. Karena ia menjadikan aku berpikir tentang alam ini. Dan membuatku memahami perubahan perubahan pada diri manusia.


Di tahun itu aku akan terlahir kembali, dan bila seseorang hidup kembali maka hidupnya akan kekal seperti sehelai kertas kosong dalam kitab keberadaan. Di tahun itu aku menyaksikan malaikat malaikat memandang ke arahku dari surga melalui mata perempuan yang indah. Aku juga melihat setan setan penghuni neraka yang mengumpat dan bentakan bentakan di hati seorang lelaki yang bejat. Barang siapa yang tidak melihat malaikat malaikat dan para setan didalam keindahan dan kedengkian hidup, akan terdampar jauh dari ilmu pengetahuan dan jiwanya akan kosong dari cinta kasiih sayang bersambung. . .

by : Indra Baidlowi
sumber : Tetralogi Masterpiece Kahlil Gibran