Tips Menonton dengan Cerdas
Minggu-minggu
ini kita pengap disuguhi isu ‘seksi’ oleh semua stasiun TV nasional.
Gara-garanya sepele, beredar video mesum mirip artis yang selama ini
disanjung-sanjung lantaran aktingnya di layar kaca.
Tak seperti biasanya pula yang hanya menjadi sorotan panas dalam infotainment, skandal itu menjadi headline dalam program berita ‘serius’. Sebegitu pentingkah?
Isu
itu bahkan mengubur kasus lain yang sebenarnya lebih bersangkutan
dengan hajat publik seperti kisruh Bank Century dan penilepan uang pajak
oleh mafia-mafia hukum. Pikir saja, emang kita rugi dengan video asusila itu? Tidak, kecuali secuil.
Media
massa beralasan, lantaran tindakan tidak bermoral tersebut dilakukan
oleh para idola maka rentan ditiru publik, terutama remaja. Bagi saya,
alasan itu masih belum cukup logis dan terlalu membesar-besarkan
masalah.
Sebelum
video itu beredar pun, di internet kita bisa temui ratusan video amatir
berisi akting cabul oleh sepasang remaja usia SMP-SMA. Atau juga sebuah
kasus di Surabaya di mana dua bocah lelaki berusia 12 tahun memerkosa
gadis 9 tahun setelah menikmati video mirip artis tersebut. Lagi-lagi
saya akan tanya, bukankah dari dulu juga sudah banyak kejadian seperti
itu?
Coba
bandingkan dengan perkara Bank Century dan mafia pajak. Dengan tekanan
yang bertubi-tubi dari media massa, maka aparat hukum terus memburu
siapa saja para pencuri uang rakyat. Jika mereka tertangkap, kita bisa
berharap uang yang telah dicuri dikembalikan ke kas negara.
Dengan
uang itu, negara bisa membiayai orang miskin yang sakit, menggratiskan
pendidikan dasar hingga menengah, membantu pesantren, dan kebutuhan
rakyat lainnya. Tetapi sebaliknya, berita yang bertubi-tubi tentang
video justru membuat publik semakin penasaran menonton film blue itu.
Kini
setelah terus ditekan oleh berita di media massa, polisi menetapkan
Ariel, penyanyi terkenal itu, sebagai tersangka produsen pornografi.
Tetapi, apa juga untungnya bagi kita?! Ya paling hal itu bisa menjadi
pelajaran agar orang tidak usah mengabadikan adegan ranjangnya. Tanpa
di-shooting pun, pelaku sudah merasakan kenikmatan surgawi atas persetubuhan.
Sekarang
heboh kasus asusila itu mulai menyurut. Tapi suatu saat kemungkinan
muncul lagi isu semacamnya. Dan melalui tulisan saya hendak mengajak
Anda bagaimana mestinya menyikapi berita semacam itu.
Politik Media
Sebagai
sebuah lembaga, media massa memainkan strategi untuk memengaruhi
pendapat khalayak luas. Mereka memilah fakta untuk menentukan aspek yang
ditonjolkan maupun dibuang, menentukan tata berita yang sesuai dengan
kehendak mereka.
Dari
sisi mana peristiwa disoroti, bagian mana yang didahulukan, ditonjolkan
atau dihilangkan, responden yang diwawancarai sebagai sumber berita,
dan lain-lain. Berita bukanlah gambaran peristiwa semata, tetapi di
dalamnya memuat nilai-nilai lembaga media pembuatnya (Tuchman, 1978).
Metro
TV yang telihat mencerdaskan dengan program-program edukatif, di masa
Kongres Partai Golkar terlihat sangat kencang menampilkan Surya Paloh
sebagai salah satu kandidat Ketua Partai. Metro vis a vis TV One yang menonjolkan Aburizal Bakrie, kandidat lain. Ya maklum saja, keduanya pemilik kedua TV itu.
TV
One yang terus menampilkan diri sebagai media “kritis dan mencerahkan”,
sependek pengamatan saya, tidak pernah mengulas isu luapan lumpur
Lapindo Sidoarjo secara tuntas.
Saat
mengangkat pun, TV One mengungkap bantuan Bakrie Group terhadap korban,
sembari terus mengampanyekan bahwa luapan lumpur adalah bencana alam
sehingga menjadi tanggungan negara. Padahal mayoritas ilmuwan bumi dunia
menyatakan, semburan lumpur diakibatkan oleh ekplorasi minyak PT
Minarak Lapindo Brantas.
Tapi toh itu hak TV One, sebab stasiun ini milik Bakrie Group. Artinya masih dalam satu naungan holding company dengan
PT Minarak Lapindo Brantas. Beberapa fakta itu sekadar contoh, tak ada
kaitan dengan isu video mesum. Namun inilah gambaran dari politik media
bahwa berita tentang fakta itu juga dimain-mainkan.
Dan
dalam isu video mesum, juga ada politik media yang dimainkan oleh
pengelola media. Dan karenanya, isu itu juga layak kita tafsirkan
Cerdas Menyimak Isu
Kembali ke soal video mesum, dalam studi media muncul cibiran, “Bad news is good news (berita buruk adalah berita bagus).” Kejadian buruk akan menjadi berita sensasional yang layak jual dan mengundang banyak iklan.
Nah
dalam kasus artis beradegan porno, mungkin kalangan santri akan ngomong
bahwa itu adalah aib pribadi yang tak layak untuk terlalu dipersoalkan.
Bukankah pesan Nabi SAW, kita disuruh menutupi aib saudara kita.
Namun dalam ilmu jurnalistik, salah satu faktor yang membuat suatu peristiwa layak diberitakan adalah sisi prominence
atau popularitas pelaku yang terlibat peristiwa. Karena jutaan orang
mengenal wajah pelaku video mesum melalui layar kaca, tak ayal aib
pribadi ini menjadi berita bagus untuk terus diangkat dan dikupas.
Berbeda
jika pelakunya orang-orang ‘biasa’. Sekali dua kali berita maka akan
lenyap seiring waktu. Maka secara teoretis, isu itu sangat layak
diberitakan. Tetapi sayangnya, melebihi porsi dan sebagian media justru
melakukan ‘vulgarisasi’ dan ‘erotisasi’ informasi dengan cara memenggal
salah satu adegan video. Di situlah berita pornoaksi menjadi pornografi.
Sekilas,
kita sah menafsirkan dengan analisis konspiratif bahwa ada
tangan-tangan kekuasaan dan preman-preman berdasi yang memainkan agar
isu asusila ini di-blow up habis oleh media, dan lantas mengurangi publikasi atas kisruh Bank Century dan mafia pajak.
Sebab
bagaimana pun, dua isu terakhir sangat memengaruhi kondisi politik dan
ekonomi makro tanah air. Padahal situasi politik dan arus pasar modal
harus dijaga stabilitasnya agar tidak menganggu kinerja lembaga
pemerintah.
Tetapi
sepertinya penafsiran itu terlalu jauh, kendati mungkin saja benar.
Tetapi bagi saya, eksploitasi isu amoral itu berkaitan dengan
kecenderungan masyarakat kita yang haus akan isu-isu sensasional meski
sama sekali tanpa substansi mendidik. Indikasinya adalah booming acara-acara yang mengumbar seksualitas di pelbagai program TV.
Hal
ini ini juga didukung oleh pendapat bahwa membicarakan seks secara
terbuka merupakan langkah tepat untuk pendidikan seks, dan memamerkan
adegan-adegan seronok dianggap sebagai keterbukaan informasi. Tak heran,
seks bukan lagi barang tabu
Padahal
menurut saya, yang sebenarnya tengah berlangsung adalah proses
liberalisasi kehidupan sosial dan dan kapitalisasi seksual. Atas nama
keterbukaan informasi, isu video mesum dieksploitasi meski semakin
memicu hasrat pemirsa untuk menonton dan bahkan menirunya. Toh jika
pemirsanya banyak, maka iklan pun berdatangan dan tarifnya dinaikkan.
Ujung-ujungnya yang untung besar adalah pemilik media, bukan kita.
Maka
lebih baik kita menganggap wacana-wacana murahan seperti itu sebagai
angin lalu, tak usah terlalu dipedulikan. Jika takut dosa, silakan ganti
ke chanel TV lain. Jika tayangannya sama, tinggal matikan. Beres.
Intinya,
jangan jadikan TV sebagai pedoman. Jangan percaya sepenuhnya dengan apa
pun yang ditayangkan TV, terutama isu-isu sensasional, karena di situ
ada yang memainkan.sumber : http://el.ibbien.com/index.php/tek-info/99-cerdas-menonton-tv
0 komentar:
Posting Komentar
kau berkomentar maka kau berfikir