Biografi K.H. Abdullah Faqih
Syaikhina lahir dari pasangan bahagia
Kiai Rofi’I dan Nyai Khodijah. Bersaudarakan tiga, yaitu: Abdullah
Faqih, Khozin, dan Hamim. Namun semenjak kecil, kepengasuhan berada di
bawah KH Abdul Hadi Zahid, Pengasuh Pondok Pesantren Langitan generasi
keempat. Ini terjadi lantaran Ayahanda beliau, Kiai Rofi’I (adik KH
Abdul Hadi) wafat saat syaikhina kecil, kurang lebih ketika berusia
tujuh atau delapan tahun, ini sebagaimana yang dikatakan KH Muhammad
Faqih (putra syaikhina). Dan ibunya, Nyai Khodijah dinikah oleh KH Abdul
Hadi Zahid. Semenjak itulah KH Abdul Hadi yang mengarahkan kehidupan,
mulai mondok hingga berkeluarga. Beliau sendiri dilahirkan pada tanggal 2
Mei 1932 M Ketiga bersaudara tersebut menjalani kehidupan kecil
sebagaimana layaknya anak-anak.
Bermain bersama penuh canda-tawa dan
tangis di satu kesempatan. Bedanya, mereka bertiga berada dalam suasana
yang kental nilai-nilai religiuitas. Ini terjadi lantaran mereka berada
dalam kepengasuhan kiai yang alim, KH Abdul Hadi Zahid. Waktu terus
berjalan, lambat laun watak dan karakter ketiga bersaudara ini sudah
mengalami perbedaan sedikit demi sedikit. Abdullah Faqih dan Hamim muda
senang bergelut dengan kitab-kitab keagamaan sementara Khozin muda suka
bepergian. Bahkan diriwayatkan beliau melancong dalam waktu yang lama
dan sempat dicari-cari Ayahanda KH Abdul Hadi Zahid. Setelah ditemukan
ternyata beliau berada di luar jawa dan sudah berkeluarga.Hingga kini
beliau berkeluarga dan menetap di Bandung. Tinggal Syaikhina dan adik
beliau Hamim yang masih asyik dengan pelajaran agama. Lambat laun
kemudian, Hamim memiliki potensi yang berbeda dengan orang secara
umumnya, beliau mendalami ilmu batin hingga kemudian mengalami masa fana
yang dalam eskatologi pesantren disebut jadzab. Potensi ini sama dengan
potensi Gus Mik Ploso, dan kebetulan namanya sama, Hamim. Semakin
bertambah usia, tingkat kefanaan beliau semakin meningkat hingga secara
fisik beliau berpakaian tidak biasa. Sehari-hari hanya bersarung dengan
tali (bebetan: jawa) yang besar hingga bagian sarung bawahnya berada di
atas lutut dan sarung bagian atas sampai pusar. Kondisi ini terjadi
sampai beliau wafat setelah berkeluarga. Kini, tinggal Abdullah Faqih
muda yang masih tetap konsis berada dalam jalur ilmu. Karena itulah, KH
Abdul Hadi Zahid lebih memusatkan perhatian kepengasuhan kepadanya.
Gayungpun bersambut, beliau memanfaatkan perhatian itu dengan
sebaik-baiknya. Setelah belajar pada Ayahanda, kini tiba saatnya
Abdullah Faqih muda pergi mencari ilmu.
Pindah satu tempat ke tempat lain guna
mencari ilmu dan kalam hikmah. Jika kita melihat kealiman syaikhina
dalam membaca kitab dan memberikan fatwa, mungkin kita akan berpikir
bahwa beliau mondok dalam waktu yang lama. Ternyata itu tidaklah tepat,
beliau hanya mondok selama 4 tahun. Dalam sebuah kesempatan beliau
pernah bercerita, “Di Lasem –mondok- dua setengah tahun, di Senori enam
bulan, setelah itu satu bulan pindah ke pesantren lain. Total semuanya
tidak lebih dari empat tahun”. Meski hanya empat tahun, namun
konsentrasi dan usahanya dalam memperoleh ilmu sangat luar biasa. Tidak
hanya sebatas pada usaha panca indera dengan membaca dan mengamati
pelajaran, namun beliau juga menggunakan dasar batin. Selama mondok
selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Dengan segala kekurangan
dan keprihatinan beliau menjalani masa-masa di medan ilmu. Beliau pernah
bercerita dalam sebuah pengajian, “Saya belajar di Lasem kurang lebih
dua tahun setengah, kebanyakan bekal teman-teman saat itu bisa dapat
24-40 kg beras. Tapi bekal saya hanya dapat dibelikan 6 kg beras”.
Beliau juga sempat dawuh, “Saya tidak pernah meminta tambahan kiriman.
Saya niati tirakat meski awalnya terpaksa. Makan ketela saja pernah.
Sementara yang paling sering sehari makan nasi ketan satu lepek dan kopi
satu cangkir. Bahkan pernah dalam bulan Ramadhan tidak sahur dan buka,
tapi cuma minum sebanyak-banyaknya”.
Kondisi prihatin ini diterima dengan
ikhlash oleh syaikhina. Karena ini temasuk pembelajaran kesederhanaan
dalam mengarungi kehidupan. Cara ini juga diterapkan beliau dalam
mendidik putrera-puteranya. Namun dengan kondisi demikian, ilmu beliau
bersinar. Menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman (dirasah
islamiyah). Selama empat tahun, syaikhina muda telah mengambil ilmu dari
para guru yang utama. Mereka pakar ilmu keislaman dan selalu istiqamah
menjalankannya. Selama di Lasem beliau belajar kepada beberapa kiai,
diantaranya: KH Baidhowi, KH Ma’shum, KH Fathurrohman, KH Maftuhin, KH
Manshur, dan KH Masdhuqi. Sementara di Bangilan beliau belajar kepada
para kiai dan diantaranya adalah KH Abu Fadhol. Kemudian beliau
melanjutkan pengembaraan dengan ber-tabarruk ke pondok-pondok lain
diantaranya di pesantren Watu Congol yang diasuh oleh KH Dalhar. Di
pesanten ini pula pernah mondok Abuya Dimyathi, Pandeglang, Banten.
0 komentar:
Posting Komentar
kau berkomentar maka kau berfikir