Sayap Sayap Patah Bagian 4 Karya Kahlil Gibran







Bagian 3 Altar Cinta

Dalam beberapa bilangan hari, kesepian menyelimuti diriku. Aku lelah dengan wajah kitab kitab yang suram. Aku menyewa kereta kuda menuju kediaman Faris Affandi. Sewaktu aku telah berada di tengah tengah pepohonan cemara yang amat indah, dimana banyak sekali terlihat orang sedang berpelisir , kusir itu mengambil jalan tengah dan terlindungi pohon pohon willow di pinggirnya. Dengan melewati jalan itu kami bisa menikmati indahnya rerumputan hijau, pohon pohon anggur dan banyak sekali aneka bunga bunga Nisan yang sedang mekar, merah seperty delima, kuning bagai emas dan biru laksana zamrud. Tidak begitu lama kereta itu telah berhenti di depan rumah yang sepertinya terpencil di tengah tengah pertamanan yang indah. Harum bunga bunga mawar, bunga kacapiring dan bunga melati memenuhi udara. ketika aku turun dari kereta dan memasuki taman yang luas itu, aku melihat Faris Affandi datang menyambut kehadiranku. Beliau membawaku masuk kedalam rumahnya dengan sambutan yang sepenuh hati dan duduk sekenanya di sampingku, seperti seorang ayah melihat puteranya sendiri. Ia menghujaniku dengan pertanyaan pertanyaan sekitar kehidupanku, masa depan dan pendidikan. Aku pun memberi jawaban dengan paparan penuh ambisi dan bersemangat. Sebab aku mendengar dengungan himne keagungan di telinga dan aku sedang melayari lautan impian penuh harapan harapan. Selang beberapa menit kemudian seorang wanita muda yang cantik memakai gaun putih yang kemilau nan indah muncul dari balik daun pintu bertirai beludru dan melangkah ke arahku. Aku dan Faris Affandi bangun dari kursi menyambutnya.

“Ini adalah puteriku salma” ujar orang tua itu yang kemudian di lanjutkan dengan memperkenalkan diriku padanya. Katanya, “nasib telah mempertemukan aku dengan teman yang amat kuhormati dalam wajah puteranya, “ salma menatap kearahku sejenak seakan tiada percaya kalau seorang tamu telah memasuki rumahnya. Tangannya yang indah, waktu aku menyentuhnya, laksana bunga bakung yang indah putih seperti tanpa dosa. Dan perasaan aneh aneh tiba tiba menyerbu hatiku. Kemudian kami semua duduk terdiam seakan akan salma membawa kebisuan yang setara dengan jiwanya yang amat menyenangkan. Saat dia menyadari kebisuan itu, Salma tersenyum kepadaku dan berbasa basi, “begitu sering ayahku mengulang cerita cerita masa mudanya dan hari hari yang telah lewat sewaktu beliau dan ayahmu menghabiskan waktu bersama sama. Jika saja ayahmu melakukan hal yang sama pula dengan apa yang dilakukan olah ayahku padaku, itu artinya pertemuan antara kita sekarang ini bukanlah yang pertama.”




Orang tua itu tampak riang mendengar puterinya berbicara sebegitu sopan santun. Dia lalu berkata “salma ini sangat perasa. Dia melihat sesuatu dengan mata jiwanya.” Kemudian dia melanjutkan pembicaraan dengan lebih santun dan tampak lebih bijaksana sekali. Seakan akan beliau menemukan pesona magis pada diriku yang membawanya kesayap sayap memori pada hari hari yang telah pergi.

Orang tua itu menatapku seraya membayangkan masa mudanya. Sedang aku menatapnya seolah memimpikan masa depanku. Beliau memandangku seperti pohon tua yang tinggi yang menaungi anak pohon yang hidup di tiupan semilir angin fajar.

Tapi salma membisu. Ada kalanya dia memandang kearahku lalu beralih pada ayahnya seakan akan sedang membaca bagian awal dan akhir drama kehidupan. Begitu cepat hari berlalu di taman itu dan aku dapat melihat kecupan sinar matahari yang kuning temaram di pegunungan lebanon melalui jendela. Faris affandi lalu menceritakan pengalaman pengalamannya. Dan aku menyimak dengan terpesona bahkan terkadang diselingi keterkejutan ketika tahun duka citanya berbalik menjadi kebahagiaan. Salma duduk di depan jendela mengedarkan pandangan dengan mata sayu tanpa mampu mengucap sepatah kalimat pun. Seolah dia tahu bahwa keindahan memiliki bahasa surgawi, lebih mulia dari segala suara yang dituturkan lidah lidah dan bibir bibir. Ia adalah bahasa abadi, baik buat seluruh manusia laksana sebuah talaga tenang yang menarik nyanyian anak sungai menuju kedalamnya dan membuatnya tak beriak.

Hanya jiwa kami yang mampu menangkap keindahan , hidup dan tumbuh bersamanya. Keindahan membuat pikiran kami bingung tanpa kami mampu menggambarkannya dalam bentuk kata kata. Ia adalah sebuah perasaan yang tampak oleh mata kita, berasal dari keduanya baik dari orang yang menatap maupun orang yang dillihatnya. Keindahan yang sesungguhnya adalah sinar yang menghiasi memancar dari jiwa jiwa paling suci yang jasmani laksana kehidupan yang datang dari pusar bumi, dan memberinya warna dan wangi pada bunga.

Keindahan sejati terletak pada keserasian spiritual yang diberi nama cinta. Yang dapat bersarang diantara seorang lelaki dan seorang wanita.

Apakah jiwaku dan jiwa salma saling menggapai di hari pertemuan kami itu. Dan apakah perasaan rindu itulah yang membuatku melihat salma seolah perempuan paling cantik di bawah matahari ini? Atau aku mabuk anggur masa muda yang membuatku berkhayal akan sesuatu yang tak pernah ada.?

Apakah keremajaanku membutakanku dan membuatku membayangkan pancaran di mata salma, kemanisan di mulutnya kehalusan di pipinya? Ataukah semua itu yang telah membukakan mataku agar melihat kebahagiaan dan nestapa cinta?

Teramat sulit menjawab pertanyaan ini. Tapi aku berkata sejujurnya bahwa pada saat itu aku tidak pernah merasakan penjara yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya, kasih sayang baru yang diam diam masuk ke dalam hatiku, laksana roh yang melayang layang diatas air saat penciptaan dunia ini. Dan dari cinta itu lahirlah kebahagiaan dan kedukaanku. Semua itu mengakhiri pertemuan pertamaku dengan salma, hingga kehendak tuhan membebaskanku dari penghambaan masa remaja dan kesendirian serta membimbingku berjalan dalam prosesi cinta. cinta adalah satu satunya kebebasan di dunia ini karena ia begitu tinggi mengangkat jiwa, dimana hukum hukum kemanusiaan dan kenyataan alam tidak mampu menemukan jejaknya.

Di saat aku bangkit dari tempat duduk untuk pulang, Faris Affandi mendekatiku dan berkata dengan tenang, “sekarang setelah engkau tahu jalan menuju rumahmu, sering seringlah berkunjung kemari karena engkau datang kerumah ayahmu. Anggaplah aku ayahmu dan salma adikmu.” Sambil mengatakan kalimat itu, ia menoleh ke arah salma. Ia mengangguk, kemudian melihatku seperty orang yang menemukan kenalan lamanya kembali.


Seluruh perkataan Faris Affandi itulah yang menyebabkan aku menjadi dekat dengan puterinya di altar cinta. ucapan ucapannya itu menjadi nyanyian surgawi yang dimulai dengan keagungan dan diakhiri dengan kepedihan. Semua itu membangkitkan gairah kami menuju alam penuh cahaya dan nyala api. Dan apa saja yang telah diutarakan Faris Affandi adalah cawan dimana kebahagiaan dan kegetiran kami reguk darinya. Aku pun meninggalkan rumah itu. Orang tua salma mengantarkanku hingga di ujung taman sementara hatiku benar benar seperti getaran bibir orang yang sedang kehausan.


BY : indra baydhowi

sumber : Tetralogi Masterpiece Kahlil Gibran