Nabi Palsu Akhir Zaman
Pada tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad SAW menerima surat dari
seseorang yang mengaku jadi nabi. Namanya Musailamah bin Habib, petinggi
Bani Hanifah, salah satu suku Arab yang menguasai hampir seluruh
kawasan Yamamah (sekarang sekitar Al-Riyad). Dalam suratnya, Musailamah
berujar: “Dari Musailamah, utusan Allah, untuk Muhammad, utusan Allah.
Saya adalah partner Anda dalam kenabian. Separuh bumi semestinya menjadi
wilayah kekuasaanku, dan separuhnya yang lain kekuasaanmu….”
Seperti dituturkan ahli tafsir dan sejarawan muslim terkemuka pada abad
ketiga Hijriah, Imam Ibn Jarir Al-Tabari (838-923), dalam kitabnya
Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Raja) atau yang
dikenal sebagai Tarikh al-Tabari, Musailamah bukanlah sosok yang
sepenuhnya asing bagi Nabi. Beberapa bulan sebelum berkirim surat,
Musailamah ikut dalam delegasi dari Yamamah yang menemui beliau di
Madinah dan bersaksi atas kerasulannya. Delegasi inilah yang kemudian
membawa Islam ke wilayah asal mereka dan membangun masjid di sana.
Menerima surat dari Musailamah yang mengaku nabi, Rasul tidak lantas
memaksanya menyatakan diri keluar dari Islam dan mendirikan agama baru,
apalagi memeranginya. Padahal gampang saja kalau beliau mau, karena saat
itu kekuatan kaum muslim di Madinah nyaris tak tertandingi. Mekah saja,
yang tadinya menjadi markas para musuh bebuyutan Nabi, jatuh ke pelukan
Islam. Yang dilakukan Rasul hanyalah mengirim surat balasan ke
Musailamah: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dari
Muhammad, utusan Allah, ke Musailamah sang pendusta (al-kazzab). Bumi
seluruhnya milik Allah. Allah menganugerahkannya kepada hamba-Nya yang
Dia kehendaki. Keselamatan hanyalah bagi mereka yang berada di jalan
yang lurus.” Rasul menempuh dakwah dengan cara persuasi dan bukan cara
kekerasan. Musailamah memang dikutuk sebagai al-Kazzab, tapi
keberadaannya tidak dimusnahkan.
Namun, setelah Nabi wafat, ceritanya jadi lain. Umat Islam yang masih
shocked karena ditinggal pemimpinnya berada dalam ancaman disintegrasi.
Sejumlah suku Arab menyatakan memisahkan diri dari komunitas Islam di
bawah pimpinan khalifah pertama, Abu Bakr al-Shiddiq. Sebagian dari
mereka mengangkat nabi baru sebagai pemimpin untuk kelompok mereka
sendiri. Musailamah dan sejumlah nabi palsu lain, seperti Al-Aswad dari
Yaman dan Tulaikhah bin Khuwailid dari Bani As’ad, menyatakan menolak
membayar zakat, suatu tindakan yang pada masa itu melambangkan
pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Madinah. Abu Bakr lalu
melancarkan ekspedisi militer untuk menumpas gerakan pemurtadan oleh
para nabi palsu tersebut, yang menurut dia telah merongrong kedaulatan
khalifah dan membahayakan kesatuan umat. Perang Abu Bakr ini dikenal
sebagai “perang melawan kemurtadan (hurub al-ridda).”
Tampaknya, “perang melawan kemurtadan” inilah yang diadopsi begitu saja
oleh para pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah tanpa disertai pemahaman
yang mumpuni terhadap duduk perkaranya. Penyerangan brutal di Banten
minggu lalu, yang menewaskan tiga warga Ahmadiyah, secara luas memang
telah dikecam bahkan oleh banyak kalangan muslim sendiri, entah dengan
alasan menodai citra Islam yang damai, merusak kerukunan beragama, atau
melanggar hak asasi kaum minoritas. Tapi bagi para pelaku penyerangan
dan yang membenarkannya, seperti FPI, apa yang mereka lakukan
semata-mata demi membela Islam dari noda pemurtadan. Jemaah Ahmadiyah
dianggap telah murtad karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi,
dan karena itu mesti dikeluarkan secara paksa dari Islam.
Ironisnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Menteri Agama, dan pihak-pihak
yang mengaku tidak menyetujui anarkisme terhadap Ahmadiyah, yang terus
memaksa agar Ahmadiyah menjadi agama baru di luar Islam, sebenarnya juga
memakai pendekatan “perang melawan kemurtadan” secara gegabah. Dalam
hal ini, perbedaan MUI dan Menteri Agama dengan kaum penyerang Ahmadiyah
hanya terletak dalam hal metode, tapi tidak dalam tujuan. Saya sebut
ironis karena majelis ulama, yang berlabel “Indonesia” di belakang,
ternyata merubuhkan prinsip kebinekaan Indonesia. Ironis karena seorang
menteri yang merupakan hasil pemilu demokratis ternyata mempunyai
pandangan yang melenceng dari konstitusi demokratis yang menjamin hak
setiap warga menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Yang paling
ironis, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membiarkan saja semua itu
terjadi.
Lepas dari itu, kalau kita tinjau dari sudut doktrin dan sejarah Islam
pun, pemakaian kerangka “perang melawan pemurtadan” untuk menyikapi
Ahmadiyah sejatinya sama sekali tak berdasar. Patut diingat, sebutan
“perang melawan kemurtadan” bukanlah kreasi Abu Bakr sendiri, melainkan
penamaan belakangan dari para sejarawan muslim. Disebut demikian
barangkali karena yang diperangi saat itu memang arus pemurtadan yang
terkait dengan munculnya sejumlah nabi palsu. Dan gerakan nabi palsu
pada masa itu berjalin berkelindan dengan upaya menggembosi kedaulatan
kekhalifahan. Penolakan membayar zakat bukan hanya pelanggaran terhadap
rukun Islam, tapi juga sebentuk aksi makar. Ini karena, berbeda dengan
ibadah salat yang hanya melulu menyangkut hubungan hamba dan Tuhannya,
urusan zakat berkaitan dengan negara. Tambahan pula, para nabi palsu
tersebut juga membangun kekuatan militernya sendiri. Musailamah,
misalnya, menggalang tidak kurang dari 40 ribu anggota pasukan untuk
melawan pasukan muslim dalam perang Yamamah, sampai-sampai armada muslim
di bawah Khalid bin Walid sempat kewalahan pada awalnya.
Karena itu, perang Abu Bakr melawan kemurtadan mesti dibaca sebagai
sebuah tindakan yang lebih bersifat politis ketimbang teologis, yakni
berhubungan dengan penumpasan terhadap kelompok pemberontak.
Karena itu, “perang melawan kemurtadan” versi khalifah Abu Bakr tidak
bisa begitu saja diterapkan dalam konteks Indonesia sekarang. Taruhlah
memang jemaah Ahmadiyah telah murtad karena mempercayai Mirza Ghulam
Ahmad sebagai nabi. Tapi bukankah sejauh ini mereka belum pernah
membangun kekuatan militer untuk merongrong umat Islam dan pemerintahan
yang sah seperti Musailamah pada masa khalifah Abu Bakr? Bukankah sejauh
ini warga Ahmadiyah hanya menuntut untuk diberi ruang menjalankan
ibadah sesuai dengan keyakinannya? Kalau memang begitu, apakah tidak
keliru kalau mereka diperlakukan seperti para pemberontak?
Ditinjau dari perspektif kaidah fiqh “hukum berporos pada alasan”,
gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu pada masa Abu Bakr memang wajib
diperangi, karena saat itu kemurtadan identik dengan pemberontakan yang
mengancam kedaulatan khalifah dan integrasi umat. Adapun kalau sekadar
murtad saja tanpa dibarengi pemberontakan, hukum yang berlaku tentu
tidak sama. Pada titik inilah kita bisa mengacu pada peristiwa
korespondensi antara Nabi Muhammad dan Musailamah seperti saya paparkan
di awal tulisan.
Di sinilah pemahaman tentang metodologi hukum Islam mutlak diperlukan
dalam melihat pokok soalnya. Tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang
metodologi hukum Islam, keputusan yang muncul dan tindakan yang diambil
mungkin saja tampak sesuai dengan ajaran syariat, tapi bisa jadi
esensinya bertentangan dengan maqashid al- syari’ah (tujuan-tujuan
syariat) yang lebih bersifat universal, seperti perlindungan terhadap
hak-hak dasar manusia.
Lagi pula, satu-satunya dalil Al-Quran tentang kemurtadan sama sekali
tidak menyeru kaum muslim untuk memerangi kaum murtad semata-mata karena
kemurtadannya. Simaklah Surat Ali Imran ayat 90. Ayat ini tidak
menyinggung soal perlunya menggunakan cara-cara kekerasan dan paksaan
terhadap si murtad, karena Tuhanlah yang akan menjadi hakim atas
perbuatannya di akhirat nanti.
Dalam kerangka Qurani semacam inilah kita bisa mengerti kenapa Nabi
tidak menghukum Musailamah, yang tanpa tedeng aling-aling mengaku
sebagai nabi. Bukan karena beliau mendiamkannya--toh Nabi melabelinya
dengan gelar “Al-Kazzab”. Menurut saya, nabi bersikap seperti itu
karena, dalam Al-Quran, hukuman terhadap si murtad memang sepenuhnya
menjadi hak prerogatif Allah SWT. Nabi Muhammad hanyalah seorang manusia
biasa yang bertugas menyampaikan risalah Ilahi. Beliau bukan Tuhan yang
turun ke bumi. Itulah sebabnya Al-Quran menegaskan tidak ada paksaan
dalam agama.
Kalau Nabi saja demikian sikapnya, alangkah lancangnya Front Pembela
Islam (FPI), MUI, dan Menteri Agama yang merasa punya hak untuk
mengambil alih wewenang Tuhan untuk mendaulat diri mereka sebagai hakim
atas orang-orang yang dianggap murtad seperti terlihat dalam sikap
mereka terhadap jemaah Ahmadiyah. Di sinilah saya kira umat Islam mesti
memilih dalam bersikap, mau mengikuti cara-cara FPI, MUI, dan Menteri
Agama, atau meneladani sikap Rasulullah.
sumber : http://www.gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=6&id=1197
0 komentar:
Posting Komentar
kau berkomentar maka kau berfikir